Minggu, 28 Juni 2015

Fikih Azan (6): Azan bagi Shalat yang Luput

Azan itu wajib bagi shalat lima waktu, baik shalat tersebut adalah shalat yang dikerjakaan di waktunya (adaa-an) atau shalat tersebut diqodho (qodho-an).

1 2
shalat_jamaah_1
Azan itu wajib bagi shalat lima waktu, baik shalat tersebut adalah shalat yang dikerjakaan di waktunya (adaa-an) atau shalat tersebut diqodho (qodho-an).
Di antara dalilnya adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertidur dari Shalat Shubuh dalam safar beliau, beliau baru bangun setelah matahari terbit, lalu beliau memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan dan iqamah. (HR. Muslim no. 1099, dari Abu Qatadah dalam hadits yang panjang). Hadits ini disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom.
Shalat yang luput tersebut pun tetap dikumandangkan azan berdasarkan keumuman hadits,
فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ
Jika waktu shalat telah tiba, salah seorang di antara kalian hendaknya mengumandangkan azan untuk kalian. ” (HR. Bukhari no. 631 dan Muslim no. 674). Hadits ini mencakup azan pada shalat di waktunya dan juga bagi shalat yang luput.
Namun jika di suatu daerah sudah dikumandangkan azan untuk shalat, lalu ada sekelompok orang yang tertidur hingga keluar waktu semisal saat matahari sudah terbit, maka azan ketika itu tidak wajib. Saat itu cukup digunakan azan umum yang sudah dikumandangkan. Karena azan di daerah itu sudah menghasilkan hukum kifayah, gugur kewajiban bagi yang lain. Akan tetapi, untuk yang telat tersebut, cukup bagi mereka mengumandangkan iqamah. (Lihat Syarhul Mumthi’, 2: 46).
Tentang hadits Abu Qotadah yang disebutkan di atas, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Jika telat shalat karena ketiduran, maka kewajiban azan tidaklah gugur. Azan tetap ada meskipun pada shalat yang diqodho. Ini jika sekelompok orang yang telat, maka mereka mengumandangkan azan. Namun jika sudah dikumandangkan azan di negeri tersebut, maka azan itu sudah cukup.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, 2: 171, terbitan Madarul Wathon).
Semoga bermanfaat. Hanyalah Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.
Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1422 H.
Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1426 H.


Disusun selepas Shalat Zhuhur, 14 Jumadats Tsaniyah 1435 H di Warak, Girisekar
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Sudah Bangun Shubuh, Masih Lanjut Tidur

Sudah Bangun Shubuh, Masih Lanjut Tidur

Sudah bangun saat azan Shubuh atau saat alarm berbunyi pada jam 4. Alarm diperhatikan, namun untuk dimatikan. Setelah itu, tidur dilanjutkan lagi hingga lewat dari waktu Shalat Shubuh.

shalat_shubuh
Sudah bangun saat azan Shubuh atau saat alarm berbunyi pada jam 4. Alarm diperhatikan, namun untuk dimatikan. Setelah itu, tidur dilanjutkan lagi hingga lewat dari waktu Shalat Shubuh.
Dari Abu Barzah Al Aslamiy, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari no. 568 dan Muslim no. 647)
Muhammad Al Hishniy berkata, “Dimakruhkan tidur sebelum Isya dan berbincang-bincang setelahnya kecuali untuk jika ada kebaikan seperti saling mengulang pelajaran atau mengatur urusan yang bermanfaat untuk agama dan masyarakat. Tidak dibedakan antara perkataan yang makruh dan mubah.” (Kifayatul Akhyar, hal. 125).
Apa hikmah sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang tidur sebelum Isya’?
Kata Muhammad Al Hishniy, “Supaya tidak terus kebablasan dari waktu shalat.” Oleh karenanya Ibnu Shalah pun berkata, “Larangan tidur sebelum waktu shalat seperti itu berlaku pula untuk shalat lainnya.” (Idem)
Nah, itulah yang kita saksikan pada sebagian orang yang bangun Shubuh. Ia sudah mengatur jam bangunnya dengan weakernya pada jam 4 pagi. Ia pun sudah bangkit mematikan weaker atau alarmnya tersebut. Namun nafsu jelek mendorongnya untuk kembali mengambil selimut dan melanjutkan tidur. Akibat tidur ini barangkali ia bangun ketika azan atau iqamah, baru beranjak pergi ke masjid. Namun tak sedikit yang biasa kebablasan sampai jam 6 pagi di mana sudah keluar dari waktu Shubuh. Saat itulah baru ia bangun dan mengerjakan shalat Shubuh. Wallahul musta’an.
Intinya, orang dalam kasus di atas sama saja bersengaja menunda shalat hingga keluar waktunya. Padahal diharamkan bagi seseorang mengakhirkan shalat seperti itu. Karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’ : 103)
Orang yang bersengaja menunda shalat hingga keluar waktu terkena ancaman dalam ayat,
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un: 4-5). Sa’ad bin Abi Waqash, Masyruq bin Al Ajda’ dan selainnya mengatakan, ”Orang tersebut adalah orang yang meninggalkan shalat sampai keluar waktunya.”
Jangan jadi orang yang malas dalam menunaikan shalat terutama shalat Shubuh. Orang munafik punya sifat malas dalam shalatnya sebagaimana disebut dalam ayat,
وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى
Dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas” (QS. At Taubah: 54).
Ibnu Hajar mengatakan bahwa semua shalat itu berat bagi orang munafik. Shalat ‘Isya dan shalat Shubuh lebih berat bagi mereka karena rasa malas yang menyebabkan enggan melakukannya. Shalat ‘Isya adalah waktu di mana orang-orang bersitirahat, sedangkan waktu Shubuh adalah waktu nikmatnya tidur. (Fathul Bari, 2: 141)
Hanya Allah yang memberi taufik pada kita untuk memperhatikan setiap shalat.
Bahasan di atas sebagiannya dicuplik dari buku penulis “Kenapa Masih Enggan Shalat?” yang diterbitkan oleh Pustaka Muslim Yogyakarta.

Disusun di malam hari, 9 Rajab 1435 H di Pesantren Darush Sholihin
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Penganut Syi’ah Tidak Membasuh Kaki Ketika Wudhu

Dalam kitab al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyah, Imam ath-Thahâwi rahimahullah , penulis kitab, mencantumkan pembahasan mashu al-khuffain (mengusap khuf) – salah satu kajian dalam ilmu fikih- dalam poin-poin ringkasan aqidah Ahlussunnah …

wudhu
Dalam kitab al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyah, Imam ath-Thahâwi rahimahullah , penulis kitab, mencantumkan pembahasan mashu al-khuffain (mengusap khuf) – salah satu kajian dalam ilmu fikih- dalam poin-poin ringkasan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau rahimahullah mengatakan: 
وَنَرَى الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ كَماَ جَاءَ فِيْ الْأَثَرِ
“Kami (Ahlussunnah) memandang disyariatkannya mengusap dua khuf dalam safar atau di rumah, sebagaimana tertuang dalam atsar (hadits)” (Syarhu al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyah hlm.386).

Bahasan Mengusap Khuf Dibahas Para Ulama Dalam Bab Aqidah

Mungkin saja hal tersebut memantik rasa keheranan dari sebagian orang. Namun tanda tanya tersebut akan terjawab melalui keterangan Imam Ibnul Abi al-‘Izzi rahimahullah, seorang Ulama yang mensyarah (menjelaskan) kitab berharga tersebut. Dalam keterangannya, beliau menegaskan salah satu ciri Ahlussunnah wal Jama’ah dan sekaligus menyinggung ciri salah satu kelompok menyimpang yang memiliki pandangan ganjil dalam persoalan berwudhu. Kelompok yang dimaksud adalah golongan Syi’ah. Golongan yang katanya mengaku mencintai keluarga Nabi ini -namun pengakuan mereka ini hanyalah kedustaan yang nyata- mempraktekkan cara berwudhu yang berbeda, yaitu dalam perkara yang wajib dilakukan pada dua kaki saat berwudhu.
Dalam berwudhu, golongan Syiah hanya sekedar mengusap dua kaki saja , meskipun dua kaki mereka tidak tertutup oleh khuf. Dan mengusap tentu berbeda dengan membasuh. Penulis sendiri pernah menyaksikan salah seorang dari mereka yang sedang berwudhu di tempat wudhu di Masjid Nabawi Saudi Arabia, ia hanya mengusap kedua kakinya saja. Dengan demikian, golongan ini telah berseberangan dengan Ahlussunnah wal Jama’ah (umat Islam) yang mewajibkan membasuh dua kaki ketika berwudhu. Mengusap hanya dilakukan Ahlussunnah saat kaki tertutup oleh khuf.

Bantahan Untuk Syi’ah Yang Hanya Mengusap Kaki

Berikut ini beberapa bantahan terhadap amaliah berwudhu mereka yang aneh dan kagak bener itu:
  1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Nabi umat Islam, yang bukan nabinya orang syiah, telah mengajarkan lafazh (bacaan) ayat-ayat al-Qur`an dan maknanya sekaligus. Abu Abdur Rahman as-Sulami rahimahullah berkata, “Orang-orang yang mengajarkan kami al-Qur`an , Utsman bin ‘Affan, Abdullah bin Mas’ud dan lainnya telah menyampaikan kepada kami bahwa mereka jika mempelajari sepuluh ayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak beralih dari sepuluh ayat tersebut hingga mempelajari maknanya (dulu)”. Dengan demikian, sudah menjadi perkara lazim bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan praktek berwudhu kepada para Sahabat, setelah menyampaikan ayat tentang wudhu (QS al-Maidah:6).
  2. Hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang membasuh dua kaki berderajat mutawatir. Apabila kaum Syi’ah menyalahi sunnah yang mutawatir ini, maka katakan saja kepada mereka bahwa orang yang menyampaikan tata cara berwudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baik melalui petunjuk lisan beliau atau praktek wudhu beliau, dan orang-orang yang mempelajari cara berwudhu dari beliau dan orang yang berwudhu pada saat beliau masih hidup, dengan beliau menyaksikan mereka melakukannya, dan kemudian mengajarkannya kepada generasi selanjutnya, jumlah mereka ini jauh lebih besar ketimbang jumlah orang yang menyampaikan lafazh ayat ini. Seluruh kaum Muslimin melakukan wudhu pada masa beliau masih hidup dan pertama kali mereka mempelajarinya dari beliau, sebab berwudhu tidak mereka kenal di masa Jahiliyah. (Syarhu al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyah hlm.386).
  3. Para Sahabat pun telah menyampaikan riwayat-riwayat yang memuat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membasuh dua kakinya ketika berwudhu dalam riwayat hadits yang banyak, dengan berbagai versi riwayat. Dari Humran bin Aban , ia berkata, “Aku pernah menyaksikan ‘Utsman bin ‘Affan sedang berwudhu. Dia kemudian menuangkan (air) ke kedua tangannya dan membasuh keduanya…Kemudian membasuh kaki kanannya tiga kali, dan dilanjutkan dengan (membasuh) kaki kiri tiga kali. Kemudian dia mengatakan, “Aku menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu seperti cara berwudhuku ini, lalu beliau bersabda, “Barang siapa berwudhu seperti cara berwudhuku ini, lalu ia mengerjakan shalat dua rakaat, tanpa berbisik kepada hatinya (khusyu’) pada dua rakaat itu, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu”. (HR. al-Bukhari no.159 dan Muslim no.226).
    Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, “Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertinggal oleh kami dalam satu perjalanan yang kami tempuh bersama. Dan kemudian beliau berhasil menyusul kami saat waktu shalat – shalat Ashar- telah tiba, sementara itu kami sedang berwudhu dan mulai mengusap kaki-kaki kami. Maka beliau berteriak dengan suara keras: “Celakalah tumit-tumit (yang tidak terbasuh air) dari api Neraka”. (HR. al-Bukhari no.163 dan Muslim no.242).
    Demikian pula yang terdapat dalam Shahihain dari Abu Hurairah dan dalam Shahih Muslim dari ‘Aisyah dari Nabi bahwa beliau bersabda, “Sempurnakanlah wudhu oleh kalian. Celakalah tumit-tumit (yang tidak terbasuh air) dari api Neraka”. (HR. al-Bukhari no.165 dan Muslim no.242).
    Masih banyak hadits lain, di antaranya dari Amirul Mukminin ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Muawiyah, ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim, dan Miqdad bin Ma’diyakrib.
  4. Hadits yang dipergunakan sebagai dalil, yaitu hadits dari ‘Abdur Rahmân bin Abi Lailâ, ia berkata, “Suatu hari, aku pernah melihat ‘Ali, ia menuangkan air ke tangannya. Lalu membasuh wajahnya tiga kali, membasuh lengannya, lalu mengusap kepalanya, dan diteruskan dengan mengusap dua kakinya. Lalu ia berkata, “Demikianlah aku melihat Rasulullah berwudhu””.
    Hadits ini diriwayatkan oleh al-Juraqaani rahimahullah dalam kitab al-Abâthîlu wal Manâkîr dan menilainya berderajat munkar lantaran jalur periwayatannya tersimpul pada perawi bernama ‘Abdur Rahmân bin Malik bin Maghûl yang didustakan banyak Ulama hadits dan dia seorang yang wahin, dan pada perawi lainnya, yaitu Yazid bin Abi Ziyâd al-Kufi yang dikomentari al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dengan, “Ia seorang yang lemah, lanjut usia dan mengalami kekacauan hafalan hingga ditalqin. Ia seorang penganut Syiah”. (Lihat Al-Ahâditsu adh-Dha’îfah wal Maudhû’ah allati Yustadallu bihâ ‘alâ bida’in fî al-‘ibâdât hlm.209. )
  5. Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya terdapat hadits-hadits yang berderajat mutawatir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkenaan dengan pensyariatan mengusap khuf, baik memuat ucapan maupun perbuatan (tentang itu). Kaum Rafidhah (Syiah) menyelisihi (umat Islam) dalam masalah ini, tanpa landasan apa-apa, bahkan dasar mereka hanyalah kebodohan dan kesesatan semata, padahal telah ada riwayat dalam Shahih Muslim (hadits no.276) dari riwayat Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib, sebagaimana tertuang dalam Shahihain dari Nabi tentang larangan menikah mut’ah, sementara mereka menghalalkannya”. (Tafsirul Qur`anil ‘Azhim 3/58).
    Dari Hammaam, ia berkata, “Jariir pernah buang air kecil, lalu ia berwudhu dan mengusap dua khufnya. Kemudian ada yang mempertanyakannya, “Kamu melakukannya?”. Dia menjawab, “Ya. Aku pernah menyaksikan Rasulullah buang air kecil, lalu beliau berwudhu dan mengusap dua khufnya”. Hammam mengatakan, “Hadits ini membuat orang-orang sangat senang, sebab Jarir masuk Islam setelah turunnya Al-Maidah”. (HR. al-Bukhari no.387 dan Muslim no.272).
    Ketika penentangan kaum Syiah terhadap ayat dan hadits-hadits mutawatir dalam masalah sudah begitu jelas, maka tak mengherankan bila vonis bersalah, sesat, mubtadi’ terlontar pada mereka.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mengusap dua kaki (yang terbuka) dalam berwudhu merupakan perbuatan bid’ah yang bertentangan dengan nash al-Qur`an, Hadits dan Ijma’. Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Barang siapa mengusap dua kakinya, ia adalah seorang mubtadi’, menyalahi petunjuk hadits yang mutawatir dan nash al-Qur`an. Seseorang tidak boleh melakukannya ketika membasuh dua kaki memungkinkan. Apabila kaki terbuka, maka wajib dibasuh, dan apabila (tertutup) di dalam khuf, maka hukumnya seperti yang dijelaskan dalam Sunnah (dengan mengusap khuf tersebut)…” (Majmu Fatawâ 21/134).
    Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pihak yang mewajibkan menyapunya (mengusapnya) seperti yang dipegangi oleh Syiah sebagaimana mengusap pada khuf, mereka ini telah sesat dan menyesatkan (orang lain). Begitu pula orang yang membolehkan mengusap keduanya dan membasuhnya, sungguh ia telah berbuat salah juga” (Tafsirul Qur`anil ‘Azhim 3/53-54 )
Dengan demikian, pendapat kaum Syi’ah dalam masalah ini jelas bertentangan ayat dan hadits-hadits shahih mutawatir, termasuk yang berasal dari riwayat ‘Ali bin Abi Thalib baik dalam soal membasuh dua kaki dalam berwudhu maupun mengusapnya saat mengenakan khuf. Mereka sama sekali tidak memiliki dalil sahih satu pun dalam masalah ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya . (Tafsirul Qur`anil ‘Azhim 3/59)
Walillahil hamd ‘alal Islam. Wa Na’udzubillah minal khudzlan.

Penulis: Ustadz Muhammad ‘Ashim Musthafa
Artikel Muslim.Or.Id

Fikih Azan (7): Azan bagi Wanita


wanita_azan

Apakah wanita dibolehkan mengumandangkan azan untuk shalat lima waktu?

Apakah wanita dibolehkan mengumandangkan azan untuk shalat lima waktu?
Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin menuturkan, “Menurut madzhab Hambali, azan bagi wanita tidaklah wajib. Baik bersama jamaah perempuan sendiri atau bersama jama’ah laki-laki. Jika tidak dikatakan wajib, lalu apa hukumnya?
Dalam salah satu pendapat Imam Ahmad disebutkan bahwa hukumnya adalah makruh. Dalam pendapat lain disebutkan masih boleh. Ada juga salah satu pendapat beliau yang menyebutkan disunnahkan. Pendapat Imam Ahmad lainnya juga menyatakan bahwa yang disunnahkan adalah iqamah, bukanlah azan. Namun semua itu dibolehkan jika suara wanita tidak dikeraskan untuk didengar orang banyak. Jika suara tersebut dikeraskan, kami bisa jadi berpendapat hukumnya haram atau minimal makruh.” (Syarhul Mumthi’, 2: 44).
Asy Syairozi berkata, “Dimakruhkan bagi wanita mengumandangkan azan. Namun disunnahkan mengumandangkan iqamah untuk sesama jama’ah wanita. Untuk azan terlarang karena azan itu dengan dikeraskan suaranya, sedangkan iqamah tidak demikian. Namun wanita tidaklah sah mengumandangkan azan untuk jama’ah laki-laki karena dalam masalah menjadi imam, wanita tidak sah mengimami laki-laki.” (Al Majmu’, 3: 75).
Imam Nawawi berkata, “Tidak sah jika wanita mengumandangkan azan untuk laki-laki. …. Namun kalau iqamah disunnahkan sesama jama’ah wanita, tidak untuk azan.” (Al Majmu’, 3: 76).
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi berkata, “Tidak ada dalil shahih yang menunjukkan wajibnya azan bagi wanita. Namun tidak ada pula hadits shahih yang menunjukkan haramnya.” (Jaami’ Ahkamin Nisaa’, 1: 299).
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi di akhir bahasan tentang azan bagi wanita menyatakan, “Kesimpulannya, tidak ada dalil yang menyatakan bahwa wanita terlarang mengumandangkan azan dan iqamah. Begitu pula tidak ada dalil yang jelas yang menunjukkan wanita itu boleh mengumandangkannya. Jika saja wanita mengumandangkan iqamah, kami tidak menganggapnya terlarang. Jika pun mengumandangkan azan, hendaknya suaranya dilirihkan. Karena untuk mengingatkan imam saja, wanita tidak mengeraskan suara, namun dengan menepuk punggung telapak tangannya. Wallahu Ta’ala a’laa wa a’lam.” (Jaami’ Ahkamin Nisaa’, 1: 303).
Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, tahqiq: Muhammad Najib Al Muthi’i, terbitan Dar ‘Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.
Jaami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, terbitan Dar Ibnu ‘Affan, cetakan pertama, tahun 1419 H.
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.
Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1422 H.


Disusun di pagi hari di Pesantren Darush Sholihin, 14 Rajab 1435 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Bisa Sesat Karena Meninggalkan Ajaran Rasul

Ibnu Mas'ud berkata, "Jika kalian meninggalkan ajaran Nabi kalian, maka kalian akan sesat." Hal ini dikatakan oleh Ibnu Mas'ud saat membicarakan shalat berjama'ah. Namun sebenarnya berlaku pula untuk berbagai ajaran Islam lainnya. Jika ajaran tersebut ditinggalkan, maka akan diperoleh kesesatan.


Ibnu Mas’ud berkata, “Jika kalian meninggalkan ajaran Nabi kalian, maka kalian akan sesat.” Hal ini dikatakan oleh Ibnu Mas’ud saat membicarakan shalat berjama’ah. Namun sebenarnya berlaku pula untuk berbagai ajaran Islam lainnya. Jika ajaran tersebut ditinggalkan, maka akan diperoleh kesesatan.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ
Barangsiapa bergembira bertemu dengan Allah besok dalam keadaan muslim, maka jagalah shalat-shalat ini di saat ia dipanggil untuk melaksanakannya. Karena Allah memerintahkan untuk Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam ajaran yang baik. Shalat jama’ah tersebut adalah bagian dari petunjuk yang baik.
Seandainya kalian tetap shalat di rumah-rumah kalian seperti shalat orang yang tertinggal ini di rumahnya, kalian berarti telah meninggalkan ajaran Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan ajaran Nabi kalian, kalian tentu akan sesat.
Aku telah melihat bahwa tidak ada yang tertinggal dari shalat berjama’ah melainkan seorang munafik yang jelas kemunafikannya. Sungguh adakalanya seseorang biasa dibawa di antara dua orang (dipapah) sampai ia diberdirikan di dalam shaf.” (HR. Muslim no. 654).
Dalam riwayat Muslim yang lain, Ibnu Mas’ud berkata,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَّمَنَا سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى الصَّلاَةَ فِى الْمَسْجِدِ الَّذِى يُؤَذَّنُ فِيهِ
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan pada kami suatu petunjuk yang baik. Yang termasuk ajaran yang baik tersebut adalah shalat di masjid yang dikumandangkan azan di sana.” (HR. Muslim no. 654).
Hadits di atas memang menjelaskan keutamaan melaksanakan shalat jama’ah. Dikatakan bahwa shalat jama’ah adalah satu petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (sunanul huda). Shalat yang dimaksud dalam hadits adalah shalat berjama’ah di masjid. Dan ini diperintahkan bagi setiap pria.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Shalat jama’ah itu wajib dilaksanakan di masjid.  Tidak boleh bagi seorang pria pun yang mampu menghadiri shalat jama’ah lantas ia meninggalkannya.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 5: 75-76).
Pelajaran penting lainnya yang bisa ditarik adalah tentang berpegang teguh dengan sunnah Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- (ajaran Islam). Siapa saja yang berpegang teguh dengan ajaran Rasul, maka ia akan selamat. Siapa yang meninggalkannya, maka ia akan sesat. Itulah maksud hadits secara umum, bukan hanya berlaku pada shalat jama’ah saja. Oleh karenanya hati-hatilah dalam menjelekkan satu ajaran Islam semisal jenggot, cadar, anti isbal dan hukum Islam lainnya. Siapa saja yang mencelanya, maka bisa tersesat.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menerangkan pula, “Setiap ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah petunjuk, cahaya dan syari’at dari Allah. Dan yang dimaksud dalam hadits adalah shalat yang lima waktu. Shalat tersebut adalah bagian dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Benarlah apa yang dituturkan oleh Ibnu Mas’ud. Bahkan shalat lima waktu adalah petunjuk terbesar setelah dua kalimat syahadat dalam rukun Islam.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 5: 76).
Hanya Allah yang memberi petunjuk.

Disusun di waktu Dhuha di Pesantren Darush Sholihin, Gunungkidul, 15 Rajab 1435 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Terlalu Was-Was Dalam Niat Shalat


niat

Imamul Haramain (Al-Juwaini), Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Basith, dan (ulama madzhab Syafi'i) yg lainnya memilih pendapat, bahwa: tidaklah diwajibkan untuk terlalu detail dalam hal membarengkan niat dengan takbir

Di Masjid Nabawi, kami beberapa kali melihat jama’ah dari Indonesia, mengulang-ulang takbiratul ihram beberapa kali. Sebuah pemandangan yang belum pernah kami dapatkan dari jama’ah negara lain, walaupun sama-sama bermadzhab Syafi’i.
Rasa iba selalu hinggap di hati, bila melihat pemandangan tersebut. Karena saya yakin hal itu didasari ketidak-tahuannya terhadap pendapat madzhab Syafi’i yang mu’tamad.
Oleh karena itu, mari kita simak perkataan Imam An Nawawi -rahimahullah– dalam masalah ini:
واختار إمام الحرمين والغزالي في البسيط وغيره انه لا يجب التدقيق المذكور في تحقيق مقارنة النية وأنه تكفي المقارنة العرفية العامية بحيث يعد مستحضرا لصلاته غير غافل عنها اقتداء بالأولين في تسامحهم في ذلك وهذا الذي اختاراه هو المختار والله أعلم
“Imamul Haramain (Al-Juwaini), Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Basith, dan (ulama madzhab Syafi’i) yg lainnya memilih pendapat, bahwa: tidaklah diwajibkan untuk terlalu detail dalam hal membarengkan niat dengan takbir seperti yang disebutkan (yakni: bahwa niat harus benar-benar berbarengan dg takbiratul ihram dari awal takbir, hingga akhir takbir).
Tetapi niat sudah cukup dengan ‘muqaranah urfiyyah aammiyah‘ (yakni kebersamaan yg biasa dan dimampui oleh orang awam), yang penting ia sudah dianggap menghadirkan kesadarannya akan sholatnya dan tidak dianggap lalai dari sholatnya, (dalil dalam hal ini adalah) karena mengikuti generasi awal umat Islam dalam sikap mereka yg toleran dalam masalah ini.
Dan pendapat yg dipilih oleh dua orang ini, adalah pendapat yang terpilih (dalam madzhab syafi’i), wallahu a’lam“. (Al-Majmu’, karya Imam Nawawi 3/277-3278)
Bahkan sebagian pengikut madzhab Syafi’i mengatakan bahwa: bahwa niat harus mendahului amal ibadah, agar tidak ada sebagian ibadah yg kosong dari niat. Imam Nawawi –rahimahullah– mengatakan:
قول أبي منصور ابن مهران شيخ أبي بكر الأودني يجب أن يقدم النية على أول التكبير بشئ يسبر لئلا يتأخر أولها عن أول التكبير
“Pendapatnya Abu Manshur Ibnu Mahran gurunya Abu Bakar Al-Audni: Bahwa niat wajib mendahului awal takbiratul ihram dengan waktu yang sedikit, agar awal niatnya tidak terlambat dari awal takbirnya”. (Al-Majmu’, karya Imam Nawawi 3/277)
Bahkan Imamul Haramain (Al-Juwaini) –rahimahullah– mengatakan:
فأما التزام حقيقة مصادفة الوقت الذي يذكره الفقيه، فممّا لا تحويه القدرة البشرية
“Adapun mengharuskan barengnya niat dengan waktu takbir sebagaimana disebutkan oleh ahli fikih, maka itu termasuk sesuatu yang tidak dimampui oleh manusia” (Nihayatul Mathlab, karya Al-Juwaini, 2/117)
Semoga bermanfaat…

Penulis: Ustadz Musyaffa Ad Darini Lc., MA.
Artikel Muslim.Or.Id

Kajian Ramadhan 29: Shalat Tarawih, Shalat Semalam Suntuk


shalat_tarawih_ramadhan

"Sesungguhnya siapa saja yang shalat bersama imam hingga imam itu selesai, maka ia dicatat telah mengerjakan shalat semalam suntuk (semalam penuh)." (HR. Tirmidzi)

Ternyata shalat tarawih walau kita lakukan 30 – 60 menit, bisa meraih pahala shalat semalam suntuk. Bagaimana bisa demikian?
Dari Abu Dzar, ia berkata,
صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ مِنَ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِى السَّادِسَةِ وَقَامَ بِنَا فِى الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْنَا لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ فَقَالَ « إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ». ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِىَ ثَلاَثٌ مِنَ الشَّهْرِ وَصَلَّى بِنَا فِى الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ فَقَامَ بِنَا حَتَّى تَخَوَّفْنَا الْفَلاَحَ. قُلْتُ لَهُ وَمَا الْفَلاَحُ قَالَ السُّحُورُ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
“Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidaklah pernah melaksanakan shalat malam bersama kami hingga tersisa tujuh hari bulan Ramadhan. Beliau lantas shalat bersama kami hingga berlalu sepertiga malam. Ketika tersisa enam hari, beliau tidak shalat bersama kami. Namun ketika tersisa lima hari, beliau shalat bersama kami hingga berlalu pertengahan malam. Kami katakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagaimana seandainya kami melakukan shalat sunnah lagi untuk malam yang tersisa ini?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya siapa saja yang shalat bersama imam hingga imam itu selesai, maka ia dicatat telah mengerjakan shalat semalam suntuk (semalam penuh).
Beliau tatkala itu tidak shalat bersama kami hingga Ramadhan tersisa tiga hari. Beliau shalat bersama kami pada tersisa tiga hari dari Ramadhan. Beliau lantas mengerjakan shalat malam kala itu bersama keluarga dan istri-istrinya hingga kami khawatir dengan “falah”. Aku bertanya padanya, “Apa yang dimaksud falah?” Ia menjawab, “Yaitu waktu sahur.” (HR. Tirmidzi no. 806. Abu Isa Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Hadits di atas menunjukkan bagaimanakah keutamaan yang besar dari shalat tarawih. Walau cuma lakukan sesaat bersama imam,tidak sampai semalam penuh, namun tetap pahalanya dicatat semalam penuh. Itulah hikmah yang luar biasa jika seseorang shalat bersama imam hingga imam selesai, walau imam mengerjakan dengan 23 raka’at, asalkan thuma’ninah. Hadits di atas pun menunjukkan bagaimanakah semangat beliau dalam melakukan shalat malam hingga bisa sampai waktu sahur.
Adapun beliau hanya melakukan selama tiga malam saja hanyalah bertujuan agar umatnya tidak menganggapnya wajib. Namun setelah beliau wafat, para salaf sudah merutinkan shalat tarawih secara berjama’ah karena sudah tidak dianggap wajib lagi.
Keutamaan shalat tarawih yang lainnya disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6: 36).
Hanya Allah yang memberi taufik.

Disusun selepas Maghrib, 2 Ramadhan 1435 H di Pesantren DS.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id